Mencari Pola Ideal Pengelolaan Zakat, Seperti Apa?
Upaya menemukan pola ideal pengelolaan zakat produktif terus berkembang di Aceh. Hal ini terjadi karena keyakinan bahwa zakat produktif dapat mengurangi angka kemiskinan. Zakat harus menjadi bagian dari solusi dalam penanggulangan kemiskinan, mengurangi kesenjangan ekokonomi dan memberi akses yang luas terhadap kaum miskin dalam mendapatkan modal usaha.
Terakhir, berkembang isu pengelolaan zakat produktif dapat dilakukan dalam bentuk community development atau pengembangan masyarakat. Pola ini, Baitul Mal menetapkan satu lokasi atau komunitas, selanjutnya dilakukan analisis kebutuhan, pemetaan potensi, pendampingan dan mengorganisirnya menjadi kekuatan bersama untuk keluar dari kemiskinan.
Pengembangan masyarakat dilakukan dengan prioritas kegiatan kesehatan, pendidikan, pemberdayaan ekonomi, dan pendampingan ibadah.
Selain sedang menemukan pola ideal penyaluran zakat produktif, Baitul Mal juga dihadapkan pada kenyataan belum lengkapnya regulasi. Ragulasi ini menjadi hal penting karena pengelolaan zakat di Aceh dilakukan oleh negara/pemerintah. Regulasi yang diperlukan adalah pengaturan zakat produktif dalam qanun dan regulasi pelaksana lainnya, termasuk melangkapi petunjuk operasional dan standar operasional prosedur (SOP).
Beberapa hal yang diatur terkait zakat produktif misalnya pengertian definisi zakat produktif, status modal usaha, perlakuan terhadap dana macet serta penghapusan. Perlu diperjelas penggunaan dana operasional, pendampingan dan penatausahaan zakat produktif dalam konteks zakat sebagai PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang merupakan fleksibilitas pengelolaan syariah zakat.
Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal kabupaten/kota sejatinya merumuskan zakat produktif sebagai solusi kemiskinan, menjadikannya sebagai program unggulan dan menyepakati pola pengelolaan yang digunakan. Apabila Zakat Community Development (ZCD) yang menjadi pilihan sebagai program nasional, maka zakat produktif dapat diintegrasikan dalam program pemberdayaan ekonomi komunitas. Lebih praktis lagi dijadikan bagian dari pemberdayaan ekonomi melalui Baitul Mal gampong.
Karena itu, manajemen zakat produktif harus secepatnya dilakukan penataan sehingga tidak menyisakan permasalahan keuangan di kemudian hari. Penataan dapat dimulai dari pengaturan zakat produktif pada perubahan Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 Tentang Baitul Mal, adanya keputusan Dewan Pertimbangan Syariat (DPS) tentang zakat produktif dan menetapkan pola pengelolaan apakah bersifat program, kemitraan atau berbadan hukum tersendiri.
Di sisi lain patut diapresiasi inisiatif Baitul Mal Aceh menyalurkan zakat produktif dalam bentuk pinjaman qardhul hasan. Penelitian yang dilakukan Armiadi Musa, Hendra Saputra, dan Shafwan Bendadeh, menunjukkan zakat produktif dapat meningkatkan penghasilan kaum miskin, sehingga dalam waktu tertentu status mereka berubah menjadi pembayar zakat. Zakat produktif ini memang sesuatu yang baru dan sifatnya masih terjadi perdebatan di kalangan agamawan Islam.[]