Rutinitas Sehari-hari dan Pertanyaan tentang Kesadaran
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Halo Stemians! Semoga kita semua dalam keadaan sehat walafiat. Senang sekali bisa kembali menulis di komunitas ini. Hari ini saya mau cerita tentang rutinitas harian saya. Sekilas mungkin terdengar sederhana, tapi ternyata banyak pelajaran yang bisa saya ambil dari hal-hal kecil di rumah.
Aktivitas Pagi yang Tidak Pernah Ada Habisnya
Pagi saya biasanya dimulai dengan rutinitas seperti mengantar adik sekolah, membersihkan rumah, memasak, dan menjaga adik-adik perempuan saya di rumah. Kalau dihitung-hitung, pekerjaan rumah memang tidak pernah selesai. Baru selesai nyapu, sebentar lagi sudah kotor lagi. Baru selesai cuci piring, sebentar lagi ada tumpukan baru.
Belum lagi adik-adik yang tiba-tiba minta susu, minta nasi, atau minta ditemani. Sering kali saya merasa pekerjaan ini benar-benar nggak ada habisnya. Kalau dihitung, mulai dari mencuci motor, cuci baju, setrika, sampai buang sampah ke belakang semuanya seperti siklus tanpa henti.
🤔 Pertanyaan yang Sering Muncul di Kepala
Di tengah semua rutinitas itu, ada satu hal yang bikin saya mikir. Pikiran saya sering bertanya: “Kenapa sih sulit sekali menumbuhkan kesadaran sederhana untuk mengembalikan barang ke tempatnya?”
Contohnya, habis ambil gelas nggak dikembalikan. Habis buka lemari, pintunya dibiarkan terbuka. Habis pakai sesuatu, ditinggalkan begitu saja. Mungkin terlihat sepele, tapi dari hal-hal kecil inilah pekerjaan rumah jadi terasa berlipat-lipat.
Saya pun bertanya lagi dalam hati: “Bagaimana ya cara menghadapi orang-orang yang belum punya kesadaran itu? Haruskah saya selalu menegur? Atau saya biarkan saja sambil berharap suatu saat mereka sadar sendiri?”
Belajar Menikmati Proses
Dari pertanyaan itu, saya akhirnya menyadari satu hal. Kesadaran memang tidak bisa dipaksa. Ia tumbuh seiring waktu, pengalaman, dan rasa tanggung jawab. Kita tidak bisa memaksa orang untuk langsung berubah hanya dengan sekali dinasihati.
Jadi, pilihan saya adalah belajar untuk tetap sabar. Saya mencoba menikmati prosesnya, walaupun kadang capek dan kesal. Saya juga berusaha melatih diri sendiri untuk ikhlas. Karena kalau saya terus-menerus mengeluh, justru hati saya sendiri yang lelah.
Refleksi Malam Hari
Setelah semua pekerjaan selesai, biasanya saya menyempatkan diri menulis atau merenung sebentar. Beberapa waktu lalu, saya menemukan dua pertanyaan yang membuat saya semakin banyak berpikir:
Bagaimana bayangan saya tentang diri saya di masa depan?
Apakah kebiasaan saya sekarang mendukung mimpi saya atau tidak?
Pertanyaan sederhana, tapi rasanya seperti menampar. Saya mulai sadar bahwa masa depan bukan ditentukan oleh mimpi besar semata, tapi juga oleh kebiasaan kecil yang kita lakukan setiap hari. Kalau kebiasaan kita masih suka menunda, malas, atau tidak bertanggung jawab, maka mimpi itu hanya akan jadi wacana.
💡 Usia Emas untuk Upgrade Diri
Saya percaya, usia 21–28 tahun adalah masa emas. Ini saat terbaik untuk memperbaiki diri, membentuk kebiasaan baik, dan mencoba hal-hal baru. Kalau di usia ini kita masih sibuk menunda dan membiarkan kebiasaan buruk, maka ke depannya akan lebih berat untuk berubah.
Karena itu, saya mencoba untuk terus menanamkan afirmasi positif. Masalah biarlah tetap masalah, yang penting adalah bagaimana kita menghadapinya. Saya ingin membiasakan diri fokus pada solusi, bukan pada keluhan.
Dari rutinitas sederhana hari ini, saya belajar bahwa:
Pekerjaan rumah memang tidak ada habisnya, tapi dari situlah kita belajar sabar.
Kesadaran tidak bisa dipaksa, ia tumbuh dengan waktu.
Kebiasaan kecil menentukan masa depan besar kita.
Jadi, meskipun capek, saya tetap berusaha menikmati setiap prosesnya. Karena pada akhirnya, hidup ini bukan tentang mencari kesempurnaan, tapi tentang berusaha menjadi lebih baik setiap harinya.
Terima kasih sudah membaca cerita sederhana saya. Semoga ada pelajaran yang bisa diambil, baik untuk saya maupun teman-teman semua.
Salam hangat,
@nananrazila
Upvoted! Thank you for supporting witness @jswit.