Seri Tokoh: Azyumardi Azra (Sejarawan Muslim dari Minangkabau)

in #indonesia7 years ago

image

Tentang sosok Azyumardi Azra (AA), agaknya tidak perlu saya perkenalkan secara mendalam. Nama AA muncul ratusan ribu kali di search engine. Tulisannya tersebar di berbagai media. Forum-forum akademi, baik di dalam maupun di luar negeri, selalu mengundangnya menjadi narasumber. Saat ini, sosok AA merupakan ikon ilmuwan Muslim di Indonesia yang menginternasional. Dalam postingan ini, saya tertarik untuk menceritakan bagaimana saya mengenali beliau sejak tahun 1999. Tahun tersebut AA menerbitkan lebih 5 buku dalam setahun. Kumpulan tulisannya yang tersebar di berbagai media, baik dalam bentuk populer maupun ilmiah, diterbitkan menjadi buku secara beruntun.

Ihwal saya berjumpa AA adalah ketika saya masih semester VII di IAIN (UIN) Sunan Kalijaga. Saat itu, saya sedang mengkaji Sejarah Aceh untuk penelitian saya tentang Sejarah Awal Hukum Islam di Indonesia, bagian dari tugas mata Kuliah Hukum Islam di Indonesia, yang diampu oleh Prof. Ratno Lukito. Buku Jaringan Ulama yang merupakan disertasi AA, diterbitkan oleh Penerbit Mizan, membuat saya terpesona, ketika dia mengupas bagaimana sejarah ‘ulama-ulama Aceh. Buku ini habis saya baca dalam beberapa hari. Setelah membaca buku ini, saya mengoleksi hampir semua buku AA.

Niat saya bertemu dengan AA ketika saya menemukan kekeliruan penulisan tanggal kedatangan dua syeikh ke Aceh. Temuan ini membuat saya agak kaget. Karena sebagai mahasiswa semester VII, menemukan kekeliruan dalam satu karya yang sangat berpengaruh, adalah suatu kepuasan intelektual. Sebab, ketika saya ikut pelatihan silaturrahmi mahasiswa Aceh di Hutan Wanagama UGM, salah seorang sejarawan Aceh, Prof. Ibrahim Alfian menceritakan bagaimana dia berhasil menemukan kekeliruan C.S. Hurgronje. Kekeliruan ini kemudian berhasil dipertahankan. Alhasil, temuan Prof. Alfian dibernarkan. Setelah itu, beliau mentraktir beberapa temannya di Belanda, karena temuan ilmiahnya tersebut.

Saya tidak akan menceritakan bagian apa yang keliru dari buku Jaringan Ulama. Setelah meyakini bahwa temuan saya adalah benar, ketika saya bandingkan dengan karya-karya lain, akhirnya saya mengintip ke pasca IAIN Sunan Kalijaga, kapan AA mengajar. Sebagai dosen dari IAIN Syarif Hidayatullah, tentu kedatangan AA ke Yogyakarta tidak akan sering. Begitu saya mendapatkan informasi kedatangan AA ke Yogyakarta, saya pun mempersiapkan diri untuk bertemu dengan AA.

Pada hari yang sudah saya nantikan, semua bahan dan buku AA, Jaringan Ulama saya masukkan ke dalam tas saya. Intinya saya ingin mengulang peristiwa Prof. Ibrahim Alfian di Leiden. Sebelum bertemu dengan AA, saya terlebih dulu membeli bukunya yang berjudul Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana & Kekuasaan (1999). Buku ini saya beli pada tanggal 29 Oktober 1999. Dalam satu hari, saya khatam membaca buku ini. Belakangan saya ketahui buku ini mendapatkan penghargaan dalam bidang ilmu sosial dan humaniora.

Besoknya, tanggal 30 Oktober 1999, saya pun menunggu AA mengajar di pasca sarjana. Saya deg degan dan khawatir jika AA tidak mau berjumpa dengan mahasiswa S-1. Singkat kata, begitu AA keluar dari ruangan dan menuju ruang transit saya mendekatkan diri. Karena saya tahu jadwal AA dan banyak mahasiswa yang ingin berjumpa, saya pun menceritakan secara singkat maksud kedatangan saya kepadanya. Dia lantas mengajak saya ke ruangan transit. Saya pun langsung membuka buku Jaringan Ulama dan menunjukkan kekeliruan penanggalan. Lantas, saya buka beberapa bahan lain, sebagai perbandingannya. Dia diam dan langsung mengatakan coba hubungi penerbit untuk mengoreksi tahun yang keliru.

Setelah itu saya pun menunjukkan beberapa karya AA yang terbit tahun 1999 dan sudah saya miliki semua. Adapun buku Renaisans Islam Asia Tenggara sama sekali belum AA miliki. Dia membuka buku tersebut dan melihat coretan di beberapa halaman. Dia bertanya, apakah anda sudah membaca buku ini. Saya mengatakan sudah selesai Pak. Lalu dia melihat sampai akhir coretan-coretan penting dalam buku tersebut. Dia lantas mengambil pena dan menuliskan pesan kepada saya, sebagaimana terlihat dalam foto di bawah.

image

Sejak itulah awal perkenalan saya dengan AA. Prof ini kemudian menjadi guru saya. Kemana pun dan dimana pun saya berjumpa dengan AA, selalu menyempatkan diri untuk bersilaturrahmi. Saat saya menempuh S-2, AA menjadi penguji saya. Ketika saya pindah ke Thailand, AA bersedia menjadi pembicara dalam seminar internasional yang kami laksanakan di Walailak University. Ketika berjumpa dalam berbagai forum, kami selalu saling menyapa. Dia selalu bertanya tentang keluarga saya. Dia tetap memanggil saya dengan sebutan ketika pertama kali jumpa di Yogya, yaitu ‘Kamal.’

image

Saat jumpa diluar negeri, AA menghadiahkan jurnal Studia Islamika dan makalahnya khusus kepada saya. Persahabatan saya dengan AA memang persahabatan antara guru dan murid. Beberapa kali jumpa di bandara, kami saling bertegur sapa. Salah satu nasihat AA yang paling saya ingat adalah meminta saya kembali pulang ke Indonesia. Tidak terlalu lama mengabdikan diri di luar negeri. Dia mengatakan kalau mengajar di luar negeri, paling mahasiswa kita hanya 10 orang. Kalau mengajar di dalam negeri, kita akan memiliki banyak mahasiswa. Inilah salah satu alasan saya kembali ke Aceh untuk mengabdikan diri di Darussalam.

Sebagai rasa takzim saya kepada AA, saya pun menulis tentang kiprahnya sebagai Sejarawan Muslim yang memperkenalkan pendekatan sosial sejarah dalam studi Islam di Asia Tenggara. Artikel ini kemudian di jurnal kampus AA. Artikel ini sebagai rasa terima kasih kepada AA yang telah mengantarkan saya pada studia Asia Tenggara. Karya-karya AA memang sering saya kutip, terutama dalam sejarah Reformasi Islam di Nusantara pada abad ke-XVII M. Rasa kagum AA terhadap Aceh memang luar biasa. Dia selalu menyempatkan diri ke Aceh, jika ada undangan dari kampus atau tugas negara lainnya.

Sejauh ini, satu hal yang membuat saya bertanya-tanya adalah alasan para ilmuwan Minangkabau melakukan berbagai riset tentang Aceh. Selain AA, saya pun membaca bahwa Prof. Taufik Abdullah dalam kisah hidupnya, menceritakan keinginannya untuk menulis tentang Aceh. Namun, tidak jadi dia lakukan. Akan tetapi, dalam beberapa karyanya, Prof. Taufik Abdullah sempat menulis tentang Aceh. Ada kisah menarik mengapa dia menulis tentang Aceh, ketika pada masa Orde Baru. Selain dia, Prof. Oman dan Dr. Dina Afrianty juga menulis tentang Aceh. Sampai sekarang saya tidak tahu alasan mengapa para ilmuwan Minangkabau tertarik dengan Aceh.

Kembali ke sosok AA. Sampai sekarang dengan AA, saya masih berkomunikasi. Setiap berjumpa dengannya, saya selalu menghadiahkan buku-buku terbaru saya. Salah satu pertanyaannya adalah bagaimana keadaan keluarga kami. Karena ketika berkunjung ke Thailand Selatan tahun 2005, saya memperkenalkan keluarga kecil kami kepada AA. Hubungan kekeluargaan dan akademik telah menjadi satu helaan nafas antara keluarga kami dengan AA.

Kita terkadang tidak sadar bahwa pertemuan kecil, walaupun singkat akan memberikan dampak yang amat luar biasa bagi karir kita di masa yang akan datang. Pengalaman saya dengan sosok AA adalah contoh kisah bagaimana mengoreksi kekeliruan bukan menghasilkan permusuhan, tetapi persahabatan.

K. Bustamam-Ahmad

Sort:  

Mantap! Mari saling koreksi...:)

Ini memori Ngentak Sapen Bang. Khe khe khe

Ya ya... memang banyak memori kita berceceran di Sapen 😉