Menyelami dan memahami kenakalan serta penyimpangan norma sosial pada remaja

in #kenakalanremaja3 months ago

Written by Muzwar Nawawi, Fatwa Ananta Putri, Dwiani Lamusu, Nabila Mamonto, Mursyid Abdillah Muhdar, Dzulhijjah Nur Aiman, Muthmainnah Ibrahim


Image source : sahabat rakyat komering

Kenakalan remaja atau juvenile delinquency merupakan tindakan menyimpang yang dilakukan oleh anak muda dan dianggap sebagai gejala sosial yang tidak sehat (patologis) Perilaku ini muncul sebagai akibat dari kegagalan dalam menjalani peran sosial secara benar, sehingga mendorong remaja mengembangkan perilaku yang menyimpang dari norma yang berlaku (Karlina, 2020). Masa remaja sering dianggap sebagai periode pencarian jati diri, penuh gejolak, dan rasa ingin tahu yang besar. Namun, dibalik semangat eksplorasi itu, tak jarang perilaku menyimpang yang sering dianggap sepele karena anggapan “namanya juga anak muda.” Padahal, jika terus dimaklumi tanpa pendampingan, kenakalan remaja bisa berubah jadi api kecil yang membakar masa depan, bukan hanya bagi pelakunya, tapi juga bagi lingkungan sekitarnya. Perilaku ini seringkali muncul sebagai ekspresi pemberontakan terhadap aturan, pencarian identitas, atau bahkan sebagai reaksi atas tekanan lingkungan yang tidak sehat.

Pada Senin, 13 Januari 2025, terjadi tawuran antara pelajar SMKN Warunggunung, Kabupaten Lebak, dan SMA Negeri Cikeusal, Kabupaten Serang, di Terminal Tunjung Teja. Tawuran ini dipicu oleh saling ejek dan tantangan di media sosial yang berujung pada kesepakatan untuk berduel. Dalam peristiwa tersebut, ACM (17), siswa SMA Negeri Cikeusal, tewas akibat luka bacok di kepala dan badan yang dilakukan oleh RA (17), pelajar dari SMKN Warunggunung. Kedua pelaku, SD dan RA, berhasil diamankan oleh pihak kepolisian di kediaman masing-masing.

Kasus ini mencerminkan betapa kompleksnya akar kenakalan remaja yang melibatkan kekerasan fisik. Menurut (Isnawan, 2023) dalam (Ernes, 2022), salah satu kejahatan antar pelajar ialah tawuran yang dimulai dari saling ejek di media sosial. Pada masa remaja, kemampuan mengelola emosi dan mengendalikan amarah masih belum matang. Oleh karena itu, ketika terjadi saling ejek, emosi mereka mudah tersulut dan akhirnya diluapkan melalui aksi tawuran antar pelajar. Media sosial mempercepat konflik kecil menjadi besar karena sifatnya yang terbuka, cepat tersebar, dan dapat memicu rasa malu atau harga diri yang terusik jika tidak ditanggapi.

Menurut (Putri, Hibar, & Jumhana, 2025) ada beberapa faktor yang mendorong remaja mengalami krisis identitas, di mana mereka kesulitan mengenali dan membentuk nilai-nilai positif dalam diri. Kondisi ini sering membuat remaja mudah terpengaruh oleh stimulus eksternal, seperti ejekan online, dan meresponnya dengan cara yang agresif. Kontrol diri yang lemah turut memperparah situasi, karena remaja tidak mampu membedakan mana perilaku yang pantas dan tidak pantas, bahkan meskipun mereka sebenarnya memahami perbedaanya. Dari sisi eksternal, masalah dalam keluarga seperti perceraian, konflik orang tua, atau tekanan ekonomi seringkali membuat orang tua kurang hadir secara emosional. Akibatnya, remaja merasa kurang diperhatikan dan mencari pengakuan di luar rumah, termasuk lewat media sosial. Ketika mereka merasa dihina secara publik di media sosial, rasa malu dan dorongan untuk mempertahankan harga diri mendorong mereka untuk membalas, seringkali dalam bentuk kekerasan seperti tawuran.

Tawuran antar pelajar bukan sekadar perkelahian fisik. Fenomena ini meninggalkan dampak yang luas dan mendalam, baik secara sosial, psikologis, maupun hukum. Kasus-kasus tawuran yang semakin marak menunjukkan bahwa tindakan kekerasan di kalangan remaja bukan lagi persoalan kenakalan biasa, melainkan persoalan serius yang harus menjadi perhatian bersama. Tawuran antar pelajar dapat memberikan dampak serius terhadap psikologis siswa, terutama bagi mereka yang masih berada dalam tahap perkembangan emosi yang belum stabil. Keterlibatan dalam aksi kekerasan seperti ini bisa memicu munculnya tekanan psikologis, seperti stres berat, kecemasan berlebihan, bahkan trauma yang mendalam. Dampak tersebut bisa berlanjut pada ganggauan tidur, sulit berkonsentrasi dalam belajar, hingga munculnya rasa takut untuk kembali ke lingkungan ke sekolah. Di sisi lain, siswa yang menjadi pelaku juga tidak jarang mengalami perasaan bersalah dan penyesalan, terutama bila tindakannya menyebabkan korban luka parah atau bahkan meninggal dunia. Sedangkan secara langsung, dampak fisik menjadi hal paling nyata dari peristiwa tawuran. Banyak pelajar mengalami luka fisik, mulai dari yang ringan seperti lecet dan memar, hingga yang berat seperti patah tulang. Dalam kasus ekstrem, tawuran bahkan bisa mengakibatkan kematian. Hal ini dikarenakan dalam tawuran, pelajar sering menggunakan benda-benda berbahaya seperti senjata tajam. Selain itu, luka fisik yang serius dapat menyebabkan siswa kehilangan kepercayaan diri, terutama jika harus menanggung dampak jangka panjang seperti cacat fisik. Hal ini tentu dapat memengaruhi masa depan mereka, baik secara akademis maupun sosial (Basri, 2016).

Tawuran juga berdampak buruk terhadap hubungan sosial antar pelajar maupun dengan masyarakat sekitar. Lingkungan sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman berubah menjadi tempat yang menakutkan. Masyarakat pun mulai kehilangan kepercayaan terhadap sekolah yang siswanya terlibat dalam tawuran. Tidak jarang, siswa dari sekolah tersebut mendapat stigma negaitf, meskipun mereka tidak terlibat langsung dalam aksi kekerasan. Pelajar yang dikenal sering terlibat tawuran cenderung dijauhi, baik oleh teman sebayanya maupun oleh orang dewasa di sekitarnya. (Basri, 2016). Dampak selanjutnya yang tidak kalah penting adalah kerugian dalam bidang pendidikan. Tawuran jelas mengganggu proses belajar mengajar di sekolah. Waktu yang seharusnya digunakan untuk belajar terbuang sia-sia karena pelajar terlibat dalam konflik. Selain itu, guru dan staf sekolah juga harus mengalihkan perhatian mereka untuk menangani permasalahan disiplin yang muncul. Siswa yang terlibat tawuran biasanya dikenai sanksi seperti skorsing atau bahkan dikeluarkan dari sekolah. Tindakan ini tentu berdampak pada keberlanjutan pendidikan mereka. Dalam jangka panjang, hal ini dapat memicu munculnya kenakalan remaja lainnya karena siswa merasa tersingkir dari sistem pendidikan. (Basri, 2016).

Dalam konteks hukum positif Indonesia, pelajar yang terlibat dalam tawuran tetap dapat dikenai sanksi pidana, meskipun berstatus sebagai anak di bawah umur. Hal ini disebabkan karena perbuatan mereka tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga mengganggu ketertiban umum dan berpotensi mengancam keselamatan orang lain. Tindakan hukum terhadap pelaku tawuran, khususnya yang masih berusia di bawah 18 tahun, dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum harus diproses dengan pendekatan yang mengedepankan perlindungan hak-haknya (Chintya & Anajeng, 2023). Namun, dalam kasus tawuran seperti yang terjadi pada 13 Januari 2025 di Terminal Tunjung Teja, di mana seorang siswa SMA Negeri Cikeusal berinisial ACM tewas akibat luka bacok yang dilakukan oleh RA, siswa SMKN Warunggunung, proses hukum tidak lagi dapat diselesaikan melalui diversi. Perbuatan tersebut telah memenuhi unsur tindak pidana berat sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan Pasal 2 Ayat (1) UU Darurat No. 12 Tahun 1951 terkait kepemilikan senjata tajam tanpa izin. Oleh karena itu, tindakan hukum terhadap RA harus tetap dilakukan melalui proses peradilan anak dengan tetap memperhatikan prinsip keadilan restoratif (Chintya & Anajeng, 2023, hlm. 44).

Pada beberapa kasus kenakalan remaja seperti tawuran antar pelajar memiliki keresahan pada pihak sekolah maupun masyarakat, berikut beberapa cara untuk mencegah atau mengurangi kenakalan remaja seperti tawuran pelajar yaitu: Pendidikan Karakter Sejak Dini, Peningkatan Pengawasan di Sekolah dan Lingkungan Sekitar, Peran Aktif Orang Tua dan Guru, Penyuluhan dan Pendidikan Anti-Kekerasan, Kegiatan Ekstrakurikuler Positif, Pemanfaatan Media Sosial Secara Positif, dan Kolaborasi Antar Sekolah dan Komunitas.

Kenakalan remaja bukan hanya sebatas “anak nakal” yang mencari perhatian; ini adalah fenomena psikososial yang melibatkan berbagai aspek, mulai dari kondisi keluarga, lingkungan sosial, hingga tekanan emosional yang dialami oleh remaja itu sendiri. Penting untuk memahami bahwa kenakalan remaja ini tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan sebagai hasil dari akumulasi berbagai faktor risiko yang terus berkembang. Jika tidak adanya pendampingan, bimbingan, serta ruang ekspresi yang sehat membuat remaja mudah terjerumus kedalam perilaku kenakalan tersebut. Pentingnya peran dari beberapa pihak baik dari keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah untuk tidak hanya fokus pada hukuman atau penanganan jangka pendek, tetapi juga membangun sistem pencegahan yang berkelanjutan dan humanis yang dapat membangun kesadaran serta tanggung jawab sehingga remaja mampu menghadapi tantangan masa depan tanpa harus terjerumus pada kenakalan yang merugikan. Dengan dukungan lingkungan yang sehat dan bimbingan yang tepat, potensi negatif dalam diri remaja dapat dialihkan menjadi kekuatan untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih matang dan bermanfaat bagi masyarakat.

Posted using SteemMobile