Aceh Di Mata Dunia, Warisan Sang Ideolog
Buku ini ditulis oleh deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Teungku Muhammad Hasan Di Tiro. Pertama kali diterbitkan di New York, Amerika Serikat pada tahun 1968. Sebuah buku yang berhasil membangkitkan ideologi dan nasionalisme keacehan.
Di Indonesia buku ini merupakan buku terlarang, terutama pada masa orde baru (orba) berkuasa dan pemberotakan GAM menjalar di seantero Aceh. Cetakan kedua buku ini juga dilakukan ditengah pemberontakan GAM terhadap Republik Indonesia membahana, cetakan kedua dilakukan di Aceh pada tahun 1977 di Gle Mampree.
Buku Aceh Di Mata Dunia karya Deklarator GAM Hasan Tiro
Sementara cetakan ketiga dilakukan di Stochholm, Swedia, tempat Hasan Tiro bermukim dan membangun pemerintahan GAM di luar negeri. Namun pasca refomasi dan setelah tercapainya perjanjian damai antara GAM dengan Pemerintah Republik Indonesia pada 15 Agustus 2005 lalu di Helsinky, Finlandia, buku ini sudah mulai beredar lagi di Aceh, meski secara terbatas.
Delapan tahun usia perdamaian Aceh, buku ini kembali diterbitkan di Banda Aceh oleh Bandar Publishing, yakni pada Juli 2013, karena banyaknya peminat terhadap buku karangan Wali Nanggroe Gerakan Aceh Merdeka tersebut, pada Maret 2014 Bandar Publising melakukan cetak ulang.
Melalui buku ini Hasan Tiro mengajarkan bagaimana seharusnya orang Aceh melihat dirinya sendiri. Cara pandang orang Aceh terhadap dirinya sendiri dinilai sangat penting, karena sangat menentukan nasib Aceh dan nasib generasi Aceh selanjutnya di mata dunia.
Dalam buku ini Hasan Tiro menegaskan: “Buku Aceh di Mata Dunia ini saya tulis untuk generasi-generasi muda Aceh sekarang, laki-laki maupun perempuan. Sebagai sebuah jembatan yang bisa menghubungkan masa lalu dengan masa depan sebagai sambungan dari tali hubungan yang sudah putus, agar generasi Aceh kini mengerti dan paham seperti apa negara yang sudah dibangun dan dipertahankan oleh nenek moyagnya dulu. Seperti apa kemuliaan yang sudah diraih dan bagaimana Aceh diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain di muka bumi.”
Ketika buku ini diterbitkan kembali di Aceh, mendapat apresiasi dari cucu sultan terakhir Kerajaan Aceh, Tuwanku Raja Yusuf Bin Tuanku Raja Ibrahim Bin Sultan Muhammad Daodsyah, yang menilai bahwa buku ini buku yang hebat, karena ditulis oleh orang yang hebat. Buku ini bisa menjadi pembelajaran awal untuk mengenal Aceh lebih jauh, sangat bermanfaat bagi generasi Aceh selanjutnya untuk bagaimana seharusnya menjadi orang Aceh.
Apresiasi terhadap buku ini juga disampaikan sejarawan dan Kepala Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya (PPISB) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Dr Husaini Ibrahim MA. Ia menilai buku yang ditulis oleh Hasan Tiro ini memiliki banyak kelebihan dan kekuatan.
Salah satu kekuatan buku ini adalah pada penggunaan sumber primer yang digunakan, yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Data yang ditampilkan telah menguak jalannya sejarah Aceh yang selama ini banyak yang tidak terungkap, terutama masalah perang Belanda di Aceh.
Sebagai putra Aceh dan tokoh pejuang, Hasan Tiro telah menyajikan fakta dan data sejarah Aceh sesuai dengan kaedah metodologi sejarah yang benar, sehingga buku ini layak dikonsumsi oleh masyarakat luas dan patut dijadikan rujukan di sekolah-sekolah, sehingga sejarah Aceh yang dipelajari akan lebih objektif, lebih menarik dan lebih bermakna.
Nyoe yang harus di publish abangda, karena generasi Aceh pudar tentang sejarah, menye tanyoe Hana taturie sejarah maka geutanyoe Hana taturie droe teuh bangsa aceh