Dua Bungkusan Mie Aceh Di Simpang Muling
Sudah lewat tengah malam ketika perut mulai bernyanyi tak ada kenal waktu. Awlnya saya pikir bisa kuabaikan saja, minum air lalu tidur. Tapi nyatanya, suara lapar itu makin lantang, menggoda seperti bisikan setan di telinga. Pelan-pelan saya bangkit dari tempat tidur, berusaha tidak membangunkan istri yang terlelap di samping.
Dengan langkah ringan saya berjalan ke dapur. Harapan masih tinggi, siapa tahu ada sisa nasi atau lauk dari makan malam. Tapi kenyataan sungguh pahit, magic jar kosong, bersih seperti baru dicuci. Lemari es pun tak menawarkan apa-apa kecuali sebotol air dingin dan sedikit sambal.
Saya berdiri lama di dapur, menimbang antara menyerah atau keluar rumah mencari makan. Akhirnya, rasa lapar menang. Dengan jaket dan dompet di saku, saya keluar menuju tempat yang selalu jadi penyelamat saat lapar melanda, warung Mie Aceh di simpang muling.
Perjalanan malam itu terasa sunyi tapi menyenangkan. Lampu jalan temaram, udara sedikit dingin, dan hanya suara motor yang menemani. Sampai di simpang, aroma rempah-rempah dari warung itu langsung menyambut seperti pelukan hangat. Tanpa ragu, saya pesan dua bungkus mie aceh pedas sedang, satu untuk saya, satu lagi untuk istri, kalau dia ikut bangun terbangun dan lapar juga.
Dalam perjalanan pulang, saya tersenyum sendiri. Ada sesuatu yang menyenangkan dari petualangan kecil seperti ini, diam-diam keluar rumah, mencari makanan saat dunia sedang tertidur. Sampai di rumah, ternyata istri saya sudah bangun, duduk di ruang tengah dengan mata mengantuk.
" Sayang kemana saja? Tanyanya setengah sadar.
" Nyari Mie Aceh. Beli dua bungkus, jawab saya sambil mengangkat kantong plastik.
Wajahnya langsung berubah cerah. Kami makan bersama di ruang tengah, berdua, dalam diam yang nyaman. Tak perlu banyak bicara, hanya suapan mie panas, pedas dan rasa syukur karena hal-hal kecil seperti ini ternyata mampu menghadirkan kebahagiaan sederhana.
Sepertinya enak 🤤
Mungkin karena sudah sangat lapar
😁