Opini : TERJEBAK FYP “Kita atau TIKTOK yang mengatur hidup kita”
Oleh : Muhammad Ridha
(Team Teduh Community)
Editor : CM Cek Mad
Di era digital seperti sekarang, platform seperti TikTok bukan lagi sekadar media hiburan. Ia telah membentuk gaya hidup baru yang dikenal dengan sebutan "standard TikTok" tampil sempurna, mengikuti tren, hidup mewah, viral, dan selalu terlihat menyenangkan. Bagi banyak pelajar, standar ini perlahan-lahan menjadi tolok ukur kebahagiaan dan keberhasilan.
Validasi bukan lagi dari prestasi atau akhlak, tapi dari jumlah likes, views, dan followers.
Sebagai seseorang yang hidup dan bekerja di lingkungan pendidikan, saya menyaksikan langsung bagaimana pengaruh TikTok meresap hingga ke ruang-ruang kelas. Banyak siswa kini lebih hafal trend joget terbaru dibandingkan isi pelajaran. Konsentrasi mudah buyar karena terlalu sibuk mengejar konten dan popularitas. Yang lebih mengkhawatirkan, muncul budaya membandingkan diri: merasa rendah diri karena tak sekeren yang ada di layar TikTok.
Akibatnya, semangat belajar menurun dan pendidikan kehilangan daya dorongnya.
Namun fenomena ini bukan hanya terjadi pada siswa. Bahkan para guru pun kini ramai-ramai ikut membuat konten TikTok. Tentu, guru juga manusia wajar ingin mengekspresikan diri. Tapi ketika guru lebih dikenal karena gaya jogetnya daripada keteladanannya, kita perlu bertanya: apakah kita sedang membangun budaya belajar, atau malah memperkuat standar semu yang sedang kita khawatirkan?
TikTok bukan musuh. Ia bisa jadi alat bantu edukasi jika digunakan secara bijak. Banyak kreator konten yang menghadirkan ilmu, motivasi, dan inspirasi. Tapi saat platform ini menjadi pusat perhatian, menggantikan buku dan dialog nyata, maka pendidikan akan kehilangan makna sejatinya: membentuk manusia yang berpikir, berakhlak, dan berkontribusi.
Sebagai guru, kita punya tanggung jawab lebih bukan sekedar mengajar, tapi juga menjadi contoh. Kita perlu hadir bukan hanya di ruang kelas, tapi juga di ruang digital, dengan cara yang tetap membawa nilai. Boleh eksis, tapi jangan kehilangan esensi. Dunia boleh berubah, tapi pendidikan harus tetap berpijak pada nilai yang benar.
Di tengah derasnya arus digital, TikTok telah menjadi panggung utama bagi generasi muda bukan sekadar tempat hiburan, tapi ruang pembentukan identitas, pembuktian eksistensi, bahkan arah hidup. Sebagai seorang guru yang berada langsung di lingkungan pendidikan, saya menyaksikan sendiri bagaimana pengaruh ini bekerja secara halus namun kuat, membentuk cara berpikir dan bersikap para siswa, bahkan guru itu sendiri.
Pertama, algoritma TikTok bekerja bukan netral. Ia memberi kita konten yang ingin kita lihat, bukan yang benar-benar kita butuhkan. Semakin sering kita mencari, menonton, atau menyukai sesuatu, maka semakin banyak hal serupa akan terus ditampilkan.
Ini menciptakan dunia semu yang sesuai selera pribadi, namun seringkali menjauhkan dari realita hidup dan nilai pendidikan yang utuh.
Kedua, eksistensi menjadi mata uang utama. Anak-anak muda termasuk para siswa berlomba-lomba agar dikenal, diakui, dan di-notice. Bahkan nilai diri mereka seringkali diukur dari jumlah like dan komentar. Hal ini berbahaya karena tanpa disadari, banyak yang kehilangan jati diri. Mereka lebih ingin menjadi apa yang disukai publik, bukan menjadi diri mereka sendiri.
Ketiga, gaya hidup konsumtif dan berulang ikut terbentuk. Konten yang terus diulang (make up haul, outfit check, dll) membuat anak-anak merasa harus memiliki barang-barang tertentu agar “layak” tampil di depan kamera. Ini bukan hanya memicu pemborosan, tapi juga membentuk pola pikir: bahagia = punya barang, bukan ilmu atau makna.
Keempat, penyebaran identitas terjadi sangat terbuka. Banyak remaja yang dengan polos menampilkan sisi pribadi yang seharusnya disimpan. Privasi jadi kabur. Sementara itu, komentar dari orang asing bisa menjadi sumber luka atau sumber nilai diri yang sangat rapuh.
Kelima, dari sini muncullah kehilangan jati diri. Ketika semua hal harus dilihat dan dinilai oleh orang lain, maka seseorang akan mulai mengabaikan suara hatinya sendiri. Nilai agama, budaya, dan pendidikan bisa kalah oleh komentar netizen.
Keenam, muncul haus validasi. Bukan lagi soal “aku suka konten ini”, tapi “orang lain suka aku nggak ya?” Validasi eksternal menjadi candu. Bahkan saat seseorang tahu kontennya tidak sesuai nilai, tetap dilakukan demi angka yang bisa dilihat.
Ketujuh, dampak paling besar dirasakan oleh perempuan. Banyak dari mereka yang menjadi korban standar kecantikan yang diciptakan di TikTok.
Mereka dipaksa merasa kurang hanya karena tidak tampil sebagaimana tren. Padahal, cantik itu beragam dan itu tidak diajarkan oleh algoritma.
Kedelapan, Dampak besarnya juga dialami oleh Laki-laki, dikarenakan mereka tidak percaya diri dengan pencapain dan apa yang mereka peroleh, karena orang yang memiliki ekonomi lebih memamerkan harta kekayaan mereka, sehingga banyak Laki-laki tidak memperdulikan halal haram dalam segala sesuatu untuk mendapatkan harta dan yang berkenaan dengannya.
Kesembilan, kita harus sadar bahwa standar itu tidak muncul dari ruang kosong. Komentar dan interaksi sosial di TikTok-lah yang perlahan membentuk "standar baru". Apa yang dulunya aneh, kini jadi normal. Apa yang dulunya tabu, kini jadi tren. Tanpa disadari, kita sedang membuat standar yang akhirnya menekan diri kita sendiri.
Kesepuluh, di sinilah muncul pertanyaan penting: apakah kita yang menciptakan standar ini, atau kita hanya mengikutinya? TikTok memberi ruang, tapi kita yang mengisinya. Maka tanggung jawab ada di kita semua bukan hanya siswa, tapi juga guru, orang tua, dan masyarakat.
(CM)