Isi Surat Terakhir Teuku Umar Sebelum Tertembak

in #teukuumar7 years ago

Saat proses membuat video dokumenter tentang Teuku Umar di Meulaboh; saya mengunjungi makam, mewawancarai ahli sejarah, membaca literatur dan melihat koleksi foto, arsip, dokumen dan segala macam tentang Teuku Umar. Saya berhenti sangat lama memperhatikan tulisan tangan Teuku Umar berbahasa Arab Jawi yang berisi pengunduran dirinya. Tulisan tangan bertanggal 30 September 1896 --yang belum terpublikasi, setidaknya tidak saya temukan saat googling-- memberi wawasan baru tentang sesuatu yang mungkin belum pernah kita baca. Berikut hasil tulisan, tak saya urut kalimatnya secara verbatim dan tak saya susun ulang terjemahan harfiahnya (yang sebelumnya tersedia secara harfiah) karena bisa jadi agak membingungkan (karena tak secara harfiah pun, masih ada bagian-bagian yang agak membingungkan), tapi seperti inilah kira-kira isi surat itu.


Dengan ini saya memberitahukan kepada Tuan Besar (maksudnya; Mayor Jenderal Deijkerkhof, Gubernur Belanda di Aceh), bahwa tugas yang mestinya saya emban dan telah saya sanggupi untuk mengepung Lamkrak sampai ke Luthu dan Reuleung (wilayah di Aceh Besar), tidak dapat saya tunaikan berhubung karena Kontelir (Controleur, semacam pejabat wilayah) dan Hoofd (pimpinan) jaksa Muhammad Arif telah mempermalukan saya:

  1. Saya dipermalukan karena seorang anggota keluarga saya yang lain, abang ipar saya (abang Cut Nyak Dhien), dipermalukan dihadapan orang banyak. Gajinya selama 2 bulan juga ditahan.

  2. Imeum Gurah Lamteungoh (6 mukim) juga telah ditendang oleh kontelir itu dihadapan orang banyak.

  3. Kontelir Ulhee Lheue, secara diam-diam menanyai seorang pedagang Cina (di Peunayong) untuk memberitahukannya dimana saja saya telah berhutang. Hal itu sungguh mempermalukan saya.

  4. Dihadapan orang banyak, Kontelir Ulhee Lheue juga telah menghina abang saya, Teuku Nja' Muhammad dari IX Mukim. Ketika ia sedang bersama Teuku-teuku lain untuk menyambut Tuan Besar yang datang ke Peukan Bada. Disana ia mengejek abang saya tak ubahnya seekor kerbau.

  5. Kontelir juga bertindak arogan terhadap masyarakat, ketika seorang suami istri pergi berbelanja ke Ulee Lheue, lalu berpapasan (mungkin maksudnya bersinggungan) dengan Kontelir tersebut, sang suami lalu dipukul dengan cambuk kuda, sehingga matanya terluka. Setelah itu Kontelir naik lagi ke kudanya, dari sana ia lalu menendang orang itu hingga tersungkur ke sawah.

  6. Jaksa Muhammad Arif telah menyiasatkan jahitan pakaian saya.

Oleh karena itu, sejak saat ini, Benteng di Lamkunyit, di Bilui dan Tjot Gue dan lain-lainnya, semuanya sedang berusaha direbut oleh pejuang-pejuang dari XXII Mukim. Maka sebaiknya Tuan Besar meminta Kontelir Ulee Lheue dan Jaksa Muhammad Arif saja yang merebutnya kembali, karena saya berniat untuk beristirahat selama beberapa waktu. Namun jika Tuan Besar akan menyerang, maka saya akan melawan, karena perasaan saya telah berubah terhadap kompeni dan saya harap akan tetap dibayangi oleh bendera Gubernemen (pemerintah).

Jika Tuan Besar tetap ingin saya mengepung Lamkrak, saya akan lakukan, tapi syaratnya, saya ingin Gubernur Jenderal di Betawi (Jakarta) menandatangai sebuah ketegasan bahwa keinginan itu adalah sebenar-benarnya dan tidak berubah, supaya jangan lagi terulang hal seperti yang sudah-sudah.

Tentang senjata-senjata yang berada ditangan saya, tidak akan saya pindahkan, karena saya masih mengawasi 6 mukim.

Demikian, harap maklum kepada Tuan Besar.

Teuku Umar.