Menikmati Suasana Pantai Ujong Blang
MENIKMATI akhir pekan, saya dan istri memutuskan untuk berjalan ke Pantai Ujong Blang di pagi hari. Pantai itu tak jauh dari rumah, namun selalu memberi rasa yang berbeda setiap kali kami datang. Anginnya berembus lembut, membawa aroma laut dan garam yang khas. Dari kejauhan, kapal-kapal nelayan tampak kecil, bergerak pelan di atas Selat Malaka yang sibuk.
Kami duduk di tepi pasir yang basah, membiarkan ombak menyapa kaki dan celana kami tanpa peduli. Suara deburannya menjadi musik yang menenangkan, seperti irama lama yang pernah kami dengar saat masih muda. Tak banyak kata yang diucapkan, karena keheningan justru terasa lebih akrab dari percakapan. Kami hanya duduk berdampingan, memandangi laut yang luas—seolah tengah membaca satu sama lain tanpa perlu huruf dan kalimat.
Sesekali, saya melirik ke wajahnya yang teduh di balik jilbab hitamnya. Ada ketenangan di sana, yang tak akan saya temukan di tempat lain. Saya tahu, waktu telah menua di antara kami, tapi cinta itu tetap sederhana: hadir, sabar, dan tidak banyak bicara.
Anak kami yang sulung, Nadya, berdiri agak jauh. Ia diam-diam merekam momen itu dengan ponselnya. Mungkin bagi dia, ini hanya potongan gambar dua orang tua yang duduk di tepi laut. Tapi bagi saya, ini adalah potret paling jujur tentang kehidupan—tentang dua hati yang tumbuh bersama, saling memahami tanpa perlu menjelaskan apa-apa.
Ombak datang silih berganti, meninggalkan jejak di pasir yang segera hilang lagi. Begitu juga dengan waktu. Namun hari itu, di Pantai Ujong Blang, kami seolah menemukan kembali makna dari kata “tenang”. Bahwa kebahagiaan tidak selalu harus gemerlap—kadang ia datang diam-diam, berembus lembut seperti angin laut, dan tinggal lama di dalam dada.





Thank you .....